Sabtu, 30 April 2011

AL-HAMMU MAUT


Hari itu Khalid hanya bisa duduk termangu di meja kerjanya. Rasa bingung dan sedih nampak di garis wajahnya. Begitulah kesimpulan yang ditangkap Shaleh dari raut wajah sahabatnya itu. Ia pun segera bangkit dari kursinya dan mendatangi Khalid
“Rasanya, sebelum kita menjalin persahabatan, hubungan kita lebih dari sekedar saudara. Sudah satu minggu ini kuamati, sepertinya engkau sedang disibukkan dengan sesuatu, sering tampak linglung. Rona duka bisa kubaca dari wajahmu. Sepertinya dirimu sedang memikul semua beban permasalahan dunia. Bicaralah, mungkin aku bisa membantu meringankan beban permasalahan yang sedang engkau hadapi!” sapa Khalid memulai pembicaraan.
Setelah terdiam sebentar, Khalid pun langsung menyahut sapaan rekannya, Shaleh.
“Terima kasih, engkau sangat baik sekali. Akhir-akhir ini aku memang merasa perlu teman curhat untuk menumpahkan semua uneg-uneg dan permasalahan yang sedang kuhadapi, mungkin saja ia bisa memberiku jalan keluar.” Balas Khalid.
Khalid pun langsung merubah sikap duduknya dan kemudian ia tuangkan segelas teh untuk Shaleh.
“Shaleh, engkau tahu sendiri kalau kini aku sudah tidak sendiri lagi. Sudah hampir delapan bulan aku bersama istriku tinggal di rumah kami. Permasalahannya kini adikku, Hammad akan datang kemari. Mungkin setelah aku atau dua minggu ini. Rencananya ia akan melanjutkan studinya di sini. Oleh karena itu kedua orang tua ku terus mendesak agar ia tinggal bersama kami di rumah, daripada ia harus tinggal bersama teman-temannya di apartemen “para bujangan”. Karena mereka sangat khawatir kalau sampai terjadi penyimpanan dan hal yang tidak-tidak pada adikku ini. Engkau kan tahu sendiri bahwa apartemen seperti ini bisa ditempati siapa saja, baik anak yang nakal maupun yang baik. Ya, yang namanya teman akan mengalir bersama yang lain.” Ungkap Khalid.
“Namun, aku terpaksa menolak permintaan mereka, karena ia kini bukan anak kecil lagi. Kehadirannya di rumah kami bisa membawa bahaya dan bencana. Ya, kita semua dulu pernah melalui masa-masa remaja seperti itu. Karena suatu saat mungkin saja aku harus keluar rumah di saat ia masih terlelap dalam tidurnya, atau mungkin juga ada saatnya aku tidak pulang ke rumah untuk beberapa waktu lamanya karena urusan pekerjaan. Dan mungkin...mungkin...mugnkin...”kata Khalid melanjutkan kalimatnya.
“Terus terang, sebenarnya aku sudah menanyakan permasalahan ini kepada salah seoran ustadz. Ia pun mewanti-wantiku agar jangan sekali-kali memasukkan orang lain untuk tinggal bersama kami, meskipun ia adalah saudaraku sendiri. Dia mengingatkanku dengan salah satu hadist Rasulullah “Al-Hammu maut!” yaitu sesuatu yang paling berbahaya bagi istri kita adalah kerabat suaminya sendiri seperti: saudara, paman, ataupun keponakan mereka. Karena mereka bisa keluar masuk rumah dengan sangat leluasa tanpa ada seorang pun yang akan menaruh curiga. Dari sinilah sebenarnya fitnah itu berpangkal. Dan tentu saja seseorang ingin bisa beristirahat bersama keluarganya di rumah dengan lebih leluasa, dan itu tak mungkin didapatkan dengan kehadiran adikku, Hammad, di sana.” Sambungnya lagi.
Diraihnya cangkir teh yang ada di hadapannya. Setelah beberapa kali ia nikmati teh itu, ia pun melanjutkan kata-katanya,
“Setelah kujelaskan alasanku kepada mereka berdua, bahkan aku sampai bersumpah dengan nama Allah kalau sebenarnya diriku mengharapkan kebaikan bagi adikku, Hammad, mereka pun langsung marah besar. Mereka cerca diriku di hadapan keluarga. Mereka menuduhku telah durhaka dan sedang menderita penyakit jiwa. Mereka anggap selama ini aku memiliki niat buruk karena telah berprasangka yang tidak-tidak kepada adikku sendiri. Padahal di matanya, istriku tak lain adalah seperti kakak perempuannya sendiri. Bahkan mereka menuduhku sebagai orang yang sedang diliputi rasa hasad dan dengki, tidak suka melihat kebaikan datang menjamah kehidupan saudaraku sendiri. Mereka pikir aku tak suka melihat ia mampu melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, universitas. Dan parahnya lagi, ayahku sampai mengancam seperti ini: “Perbuatan ini benar-benar sebuah aib di mata masyarakat. Demi Allah, kalau Hammad tidak tinggal bersamamu, kami berdua akan murka kepadamu sampai kami mati nanti, dan sejak hari ini kita tidak akan pernah saling mengenal lagi selamanya!” jelasnya lagi.
Sejenak Khalid menundukkan wajahnya. Kemudian ia melanjutkan lagi keluhannya,
“Sekarang aku benar-benar bingung dibuatnya. Satu sisi, aku ingin membuat kedua orang tuaku bahagia. Namun, di sisi lain, aku tak ingin mengorbankan kebahagiaan rumah tanggaku begitu saja. Bagaimana menurutmu?” tanyanya kepada Shaleh.
Setelah meluruskan posisi duduknya, Shaleh pun mulai angkat bicara.
“Tentu engkau ingin agar aku mengatakan pendapatku yang sejujurnya dalam masalah ini. Khalid, menurutku rasa cemasmu sudah sangat di luar batas. Karena kalau tidak, mengapa engkau sampai harus berselisih dengan kedua orang tuamu seperti ini? Bukankah kau tahu kalau keridlaan dan kemurkaan Allah sejalan dengan keridlaan dan kemurkaan kedua orang tua kita? Apa kiranya yang akan terjadi kalau ia benar-benar tinggal bersama kalian? Apakah kehadirannya akan membuatmu semakin cemas dan gelisah? Bahkan sebaliknya, seharusnya engkau bersyukur. Karena ialah yang akan menangani semua urusan saat engkau tidak adadi rumah dan dialah yang akan menggantikanmu sebagai kepala keluarga untuk sementara waktu.” Shaleh diam sebentar, ia ingin melihat reaksi Khalid setelah mendengar kata-katanya tadi. Setelah itu ia pun melanjutkan sarannya,
“Sekarang aku mau tanya, mengapa engkau sampai berprasangka yang tidak-tidak seperti itu kepada adikmu sendiri? Bagaimana mungkin engkau menuduh orang yang tak bersalah tanpa bukti sedikit pun? Apakah engkau tak ingat akan firman Allah “Wahai oran-orang yang beriman jauhilah kebiasaan berburuk sangka, karena sesungguhnya ia merupakan salah satu perbuatan dosa? Bukankah engkau percaya kepada istrimu? Dan bukankah engkau percaya kepada adikmu?” tanya Shaleh.
Khalid pun langsung memotong perkataan sahabatnya itu,
“Aku percaya kepada mereka semua, tapi...”
Mendengar jawaban ragu-ragu seperti itu, Shaleh langsung menimpali,
“Ha, sekarang kita kembali pada semula, ragu dan bingung lagi! Percayalah Khalid bahwa adikmu, Hammad, akan menjaga keluargamu dengan baik, di saat engkau bersamanya ataupun di saat dirimu tak berada di tengah-tengah mereka. Tak mungkin rasanya ia mau macam-macam terhadap istrimu karena ia sudah seperti kakak perempuannya sendiri. Sekarang coba kau tanyakan kepada dirimu sendiri, bagaimana seandainya ternyata Hammad sudah berkeluarga, apakah engkau akan berfikir untuk melakukan yang macam-macam terhadap istrinya? Kurasa jawabannya sudah sangat ma’ruf sekali.”
Mereka berdua akhirnya terdiam sejenak. Tak lama kemudian Shaleh melanjutkan kata-katanya,
“Khalid, mengapa engkau sampai mengecewakan orang tua dan adikmu sendiri? Kau hancurkan pernik-pernik keluargamu hanya karena kekhawatiranmu dan rasa cemas yang sangat tak berdasar? Cobalah bersikap sedikit realistis! Buatlah kedua orang tuamu bahagia agar Allah pun memberikan keridlaan-Nya kepadamu! Untuk menghilangkan rasa cemasmu, kusarankan agar Hammad tinggal di ruang depan dan kau buatkan pintu yang membatasi antara ruang depan dan sisa kamar yang lainnya di dalam.”
Khalid nampaknya setuju dan cukup bisa menerima saran yang diberikan rekannya, Shaleh. Kini ia tak lagi mempunyai alasan yang kuat untuk bisa menolak kehadiran adiknya, Hammad, untuk tinggal bersamanya di rumah mereka.
Setelah selang beberapa hari, akhirnya Hammad pun tiba. Khalid menjemputnya di bandara dan kemudian mereka berdua bergerak menuju kediaman Khalid dan keluarganya selama ini. Kini Hammad mulai menjalani hidupnya di ruang depan yang telah disediakan untuknya.
Begitulah semuanya terjadi dan berlalu di bawah garis yang telah ditetapkan Allah. Kini empat tahun telah berlalu. Khalid pun sudah menginjak usianya yang ketiga puluh, sosok seorang ayah dengan “tiga orang putra”, sementara Hammad, kini sudah memasuki tahun terakhirnya di universitas. Khalid berjanji kepada adiknya bahwa ia akan berusaha untuk mencarikan pekerjaan di kampus yang sesuai dengannya di samping ia pun akan tetap tinggal bersama keluarga Khalid sampai ia berkeluarga nanti dan memiliki tempat tinggal sendiri.
Suatu sore, sebagaimana biasanya ketika Khalid sedang mengendarai mobil di salah satu jalan menuju kediamannya, nampak dari kejauhan dua sosok manusia di pinggir jalan. Ia pun segera mendekatinya. Ternyata mereka adalah seorang ibu tua dan anak gadisnya yang sedang terkapar di pinggir jalan sambil menangis kesakitan.
“Tolong selamatkan kami...tolong kami!” terdengar ibu tua itu berteriak meminta bantuan kepada siapa saja yang ada di sekitarnya.
Khalid merasa sedikit aneh melihat peristiwa yang ada di hadapan matanya. Rasa ingin tahu membawanya untuk lebih mendekat dan menanyakan langsung kepadanya apa yang telah terjadi. Ibu tua itu mengatakan bahwa mereka sebenarnya bukanlah penduduk kota tersebut. Belum sampai satu minggu mereka tinggal di sana, sementara tak seorang pun yang mereka kenal di tempat tersebut. Adapun gadis itu, tak lain adalah putrinya sendiri. Suaminya sedang tugas di luar kota. Kini dirinyas sedang berjuang menahan rasa sakit karena akan melahirkan sebelum waktunya. Hampir saja ia mati karena tak sanggup lagi menahan rasa sakit tersebut sementara sedari tadi ia tak menemukan seorangpun yang bisa mengantarkan mereka ke rumah sakit agar gadis itu bisa melahirkan dengan selamat di sana. Sambil meneteskan air mata, wanita tua itu memohon kepadanya.
“Kumohon, biar kucium telapak kakimu! Tolong antarkan kami ke rumah sakit terdekat, semoga Allah selalu menjaga keluarga anda semuanya dari segala macam musibah.”
Air mata ibu dan rintihan gadis itu ternyata mampu meluluhkan hati Khalid. Ia pun merasa sangat kasihan melihat kondisi mereka berdua. Dengan alasan ingin menolong sesama yang sedang ditimpa musibah, selain juga demi menjaga kehormatannya, akhirnya Khalid pun bersedia untuk mengantarkan mereka berdua ke rumah sakit terdekat. Selama perjalanan, wanita tua itu tak henti-hentinya berdoa agar Allah membalas semua kebaikan Khalid dengan keberkahan kepada keluarganya.
Selang beberapa waktu kemudian, mereka pun sampai di rumah sakit. Setelah menyelesaikan semua urusan administrasi dengan pihak rumah sakit, gadis itu pun dibawa ke ruang operasi untuk menjalani bedah sesar karena ternyata kondisinya tak mungkin untuk melahirkan secara normal.
Demi tetap menjaga kehormatannya, Khalid tak meninggalkan mereka begitu saja setelah ia mengantarkannya ke rumah sakit sebelum ia benar-benar yakin bahwa proses operasi sesar berjalan dengan lancar. Ia beritahukan kepada wanita tersebut bahwa ia akan menanti di ruang tunggu khusus pria. Khalid memintanya agar segera memberitahukannya jika anaknya telah melahirkan dengan selamat. Tak lupa ia menelpon istrinya di rumah untuk memberitahukan bahwa ia akan agak telat pulang malam itu.
Tampak Khalid duduk menanti sambil menyandarkan pundaknya di tembok. Tanpa terasa kedua kelopak matanya mulai merapat, ia pun kemudian tertidur untuk beberapa waktu lamanya. Khalid tak lagi ingat berapa lama ia tertidur di tempat itu. Namun satu hal yang masih benar-benar melekat di dalam memorynya adalah bahwa ia tiba-tiba terbangun dari tidurnya karena dikagetkan oleh teriakan dan ratapan tangis. Segera ia terbangun dari tidurnya dengan sangat terkejut. Dilihatnya wanita tua, ibu dari gadis tadi, berteriak-teriak sambil menunjuk dengan tangannya.
“Itu dia orangnya! Itu dia!”
Khalid benar-benar merasa heran ketika melihat sikap wanita tersebut. Dihampirinya segera. Ddengan penuh rasa ingin tahu ia pun bertanya,
“Nah, bagaimana? Laancar lahirnya?”
Sebelum wanita itu melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba dua orang petugas keamanan melangkah mendekati Khalid.
“Anda Khalid?” tanyanya.
“Ya.”
“Kami minta waktu anda sebentar, mungkin hanya lima menit saja. Mari ke ruang direktur rumah sakit!” kata petugas tadi kepadanya.
Mereka pun segera menuju ruang direktur. Di sana, sekali lagi wanita tua itu menangis sambil berteriak-teriak. Sambil memukuli wajahnya dan menarik-narik rambutnya sendiri dan berkata,
“Ini dia pelakunya! Kumohon, tolong jangan biarkan dia pergi! Engkau harus bertanggungjawab terhadap anak perempuanku.”
Kali ini Khalid benar-benar dibuatnya pusing, bingung entah apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Semuaa keheranannya baru mulai terjawab ketika salah seorang petugas mengatakan kepadanya bahwa wanita ini telah menuduhnya memperkosa anak gadisnya secara paksa hingga akhirnya ia hamil akibat perbuatannya. Tudingnya lagi bahwa Khalid bersedia menikahinya setelah gadis itu melahirkan dan kemudian meletakkan anaknya di depan pintu salah satu masjid agar nantinya bayi itu diambil oleh pihak panti sosial.
Tak kuat mendengar tudingan tersebut, akhirnya Khalid langsung terlunglai. Lidahnya terasa kelu, kata-katanya tak tertahan di kerongkongan. Ia pun akhirnya jatuh ke lantai, pingsan.
Tak berapa lama setelah itu, Khalid siuman kembali. Dilihatnya dua orang petugas masih setia bersamanya di ruangan itu. Salah seorang dari mereka yang memang sudah cukup spesialis menangani masalah ini segera melangkah mendekati Khalid.
“Khalid, katakan yang sejujurnya! Penampilanmu menunjukkan bahwa engkau orang baik-baik dan bukan termasuk mereka yang biasa melakukan hal yang semacam itu!” pinta petugas itu kepada Khalid.
Meskipun perih luka masih terasa menyayat hatinya, namun Khalid berusaha untuk menjawab pertanyaan tersebut
“Hai orang-orang! Apakah seperti ini cara kalian membalas sebuah kebaikan? Saya ini orang terhormat, saya sudah berkeluarga dan dikaruniai tiga orang anak. Dua putra dan satu putri: Sami, Saud, dan Henadi. Nama mereka semua tertera di dalam kartu keluarga saya. Saya bekerja di...dan tinggal di...
Khalid tak mampu menguasai dirinya. Deraian hangat air matanya pun mulai membasahi pipi. Air mata seseorang yang sedang terdzalimi, air mata yang mengalir dari kelopak seorang yang tak bersalah lagi berdosa. Kemudian Khalid pun menceritakan kepada mereka peristiwa yang sebenarnya telah terjadi antara dirinya dan wanita tua itu beberapa saat yang lalu.
Setelah ia ceritakan semuanya, petugas tersebut langsung berkata,
“Permasalahan ini tidak akan memberatkan anda. Saya percaya bahwa anda tidak bersalah dalam kasus ini. Namun, demi kepentingan birokrasi hukum, anda harus menunjukkan bukti bahwa anda tidak bersalah sesuai dengan ketentuan yaang berlaku. Tidak terlalu rumit hanya perlu melakukan pengecekkan medis khusus yang kiranya akan mengungkapkan yang sebenarnya.”
“Yang sebenarnya apa?” potong Khalid, “Yang sebenarnya diriku tak bersalah sama sekali dalam permasalahan ini! Apakah kalian tidak percaya? Kalau anjing saja bisa membalas kebaikan tuannya, bagaimana mungkin manusia bisa menghianati orang yang telah berbuat baik kepadanya?”
Keesokan harinya sampel sperma Khalid diambil untuk dilakukan pengecekkan medis di laboratorium. Ditemani oleh seorang petugas, Khalid menanti hasil pemeriksaan laboratorium di ruangan lain. Tak henti-hentinya ia memohon kepada Allah agar mengungkapkan apa yang sebenarnya telah terjadi.
Setelah dua jam berlalu, hasil yang ditunggu-tunggu pun akhirnya selesai juga. Pemeriksaan medis menunjukkan bahwa Khalid tidak bersalah dan bebas dari tudingan ini. Nampak Khalid tak mampu menahan kegembiraannya. Ia pun segera sujud syukur kepada Allah karena akhirnya terbukti bahwa dirinya tidak bersalah. Sementara petugas keamanan meminta maaf atas apa yang telah mereka lakukan. Adapun wanita tersebut, akhirnya ia digiring ke kantor polisi untuk dimintai keterangan dan akan diproses lebih lanjut.
Sebelum meninggalkan rumah sakit, Khalid sengaja mendatangi dokter spesialis yang menangani kasusnya di ruang praktiknya untuk pamit pulang. Namun kali ini dokter tersebut membuatnya sedikit terkejut.
“Kalau boleh, saya ingin bicara dengan anda beberapa menit saja?” kata dokter itu. Tampak ia sedikit bingung dan ragu. Sejenak ia coba untuk mengumpulkan semua kekuatannya lalu berkata,
“Khalid, sebenarnya dari uji coba sampel yang telah dilakukan terhadap dirimu, saya ragu...sepertinya anda mengidap penyakit tertentu. Namun saya tidak bisa memastikannya. Oleh karena itu, saya ingin melakukan pemeriksaan terhadap anak dan istrimu agar saya bisa lebih yakin lagi.” Kata dokter itu.
“Tolong dok, katakan apa yang sebenarnya menimpa diri saya? Saya siap menerima semua keputusan dan takdir Allah. Yang penting sekarang anak-anak saya yang masih kecil-kecil. Saya siap mengorbankan diri saya demi mereka semua.” Sergah Khalid. Nampak sekali kekhawatiran terpancar di raut wajahnya. Setelah itu, ia pun mulai menangis sedih. Dokter itu pun segera untuk menenangkan hatinya.
“Sebenarnya saya tidak mungkin mengatakan kepada anda apa yang sebenarnya terjadi sampai saya benar-benar yakin terhadap permasalahan ini. Karena mungkin saja keragu-raguan saya ini tidak pada tempatnya. Yang penting sekarang, segera bawa istri dan ketiga anak anda!” pintanya kepada Khalid.
Beberapa jam kemudian, Khalid sudah tiba kembali di rumah sakit. Kali ini ia datang bersama istri dan ketiga anaknya. Mereka pun segera melakukan pemeriksaan laboratorium sebagaimana yang telah ditentukan. Setelah itu, ia antarkan mereka ke mobil. Sementara Khalid kembali mendatangi pak dokter tersebut untuk berbincang-bincang sejenak dengannya. Ketika mereka sedang asyik berbicara, bunyi ponsel Khalid terdengar berdering. Segera diangkatnya dan kemudian ia matikan kembali setelah beberapa saat ia berbicara dengan si penelpon. Pembicaraannya dengan dokter itu pun dilanjutkan.
“Siapa dia, orang yang tadi anda perintahkan untuk membobol pintu rumah?”
“Dia adikku, Hammad. Ia tinggal bersama kami. Katanya tadi ia kehilangan kunci, makanya ia minta agar saya segera kembali ke rumah,” jawab Khalid.
“Sudah berapa lama dia tinggal bersama kalian?”
“Sudah sekitar empat tahun ini. Sekarang ia sedang menyelesaikan tahun terakhirnya di universitas,” jawab Khalid.
“Apa mungkin anda bawa ia kemari, agar kita bisa melakukan pemeriksaan kesehatan, agar saya bisa lebih yakin apakah penyakit ini turunan ataukah bukan,” pinta dokter tersebut.
“Oh, dengan senang hati, pak” sahut Khalid.
Pada waktu yang telah ditentukan, Khalid dan Hammad kembali mendatangi rumah sakit tersebut untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Setelah selesai, dokter itu meminta Khalid untuk kembali lagi setelah satu minggu agar ia bisa mengetahui dengan yakin hasil akhir dan pemeriksaan tersebut.
Sementara itu, rasa gelisah terus menghantui Khalid selama seminggu ini. Hingga tibalah hari H, Khalid pun kembali mendatangi pak dokter yang telah menantinya dan menyambutnya dengan penuh cita. Segelas lemon disuguhkan kepada Khalid. Sesaat kemudian, pak dokter itu mulai memberikan nasehatnya kepada Khalid agar ia mampu lebih bersabar ketika menghadapi cobaan dan ujian. Begitulah memang rona kehidupan di dunia.
Mendengar nasehat itu, Khalid langsung memotong pembicaraan pak dokter tersebut,
“Tolong dok, jangan buat diri saya semakin cemas! Saya siap untuk menerima penyakit apapun juga. Ini memang sudah menjadi ketentuan Allah. Apa yang sebenarnya terjadi?”       
Tampak dokter itu menundukkan kepalanya sejenak sebelum ia melanjutkan kata-katanya,
“terkadang, tak jarang kenyataan yang harus kita hadapi terasa begitu pahit dan memilukan. Namun, bagaimanapun pahitnya, kita harus tetap mengetahui dan siap untuk menghadapinya. Lari dari kenyataan tidak akan memberikan penyelesaian ataupun merubah keadaan.” Sejenak ia terdiam. Lalu katanya lagi,
“Khalid, sesungguhnya engkau ini mandul, tak mampu memiliki keturunan. Dan ketiga orang anak di rumahmu sebenarnya bukanlah anak kandungmu, namun mereka adalah anak adikmu, Hammad.”
Tak sanggup Khalid mendengar pernyataan dokter tersebut. Ia pun langsung berteriak histeris karenanya. Teriakannya terdengar menggaung di langit-langit ruang. Sejurus kemudian ia pun langsung jatuh pingsan, lunglai tak berdaya.
Setelah dua minggu berlalu, Khalid pun mulai siuman dari tidur panjangnya di bawah alam tak sadarnya. Sementara semua pernik kehidupan yang telah ia bangun selama ini kini telah hancur lebur berantakan entah kemana.
Kini Khalid menderita lumpuh sebelah badan dan hilang ingatan akibat shock berat. Ia pun kemudian harus dipindahkan ke rumah sakit jiwa untuk beberapa waktu lamanya. Sementara istrinya, kini diajukan ke mahkamah syari’ah untuk meminta pengakuannya dan menjatuhkan hukuman rajam kepadanya. Adapun adiknya, Hammad, kini ia harus mendekam di penjara, menunggu vonis hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya. Sementara ketiga anaknya kini dialihkan pengasuhannya kepada lembaga sosial agar mereka tinggal bersama anak-anak jalanan dan para yatim disana. Begitulah ketentuan Allah berlaku hingga akhir jaman, “Al-Hammu maut”, kehadiran ipar dan kerabat suami merupakan sumber permasalahan, dan kita tidak akan pernah mendapati perubahan apapun atas semua ketentuan Allah.

1 komentar:

  1. Halo roh jibril atau Muhammad Amilurrahman atau ODAP bajingan, pernah merasakan makan tai orang? Tak lama lagi kamu akan merasakannya. Sayangi kontolmu, karena tak lama lagi akan dikebiri. Kamu telah menipu ribuan orang lewat ODAP, dan sekarang saatnya pembalasan tiba.

    BalasHapus