Sabtu, 23 April 2011

Haruskah Aku Berbuka Dengan Wisky?


Hari itu merupakan pertama kalinya Ustadz Abdurrahman, salah seorang ustadz berkebangsaan Malaysia, melangsungkan shalat Jum’at di salah satu negara non-muslim. Terlintas di benaknya beberapa pendapat ulama seputar hukum mendirikan shalat Jum’at di wilayah non-muslim. Sejenak ia teringat perbedaan ulama sekitar jumlah minimal jama’ah yang wajib hadir. Begitulah sejenak memori itu hadir di dalam fikirannya mengiringi langkahnya menuju sebuah masjid. Seorang guide muslim yang mengantarkannya pun akhirnya berhenti tepat di sebuah rumah makan ala India. Ustadz Abdurrahman terus mengiringi langkah guide yang mengantarnya menaiki tangga yang ada di dalam rumah makan tersebut. Akhirnya ia pun sampai di sebuah ruangan kecil lagi pengap dan gelap. Terlihat di sana beberapa sajadah usang sengaja di hamparkan bagi mereka yang ingin mendirikan shalat. Bau bawang goreng benar-benar tercium menusuk di sekitar ruangan itu. Tanpa perlu bertanya lebih jauh lagi Ustadz Abdurrahman sudah menduga kalau ruangan tersebut adalah tempat yang sengaja disediakan untuk shalat. Maklum, demikianlah kenyataan yang harus dihadapi di tengah negara kafir dan atheis, negara tanpa satu pun bangunan masjid dimana orang bisa bersimpuh sujud untuk sekedar melaksanakan shalat Jum’at.
Dua rekaat shalat sunat pun segera dilaksanakannya. Tak berapa lama setelah itu, waktu shalat Jum’at tiba. Salah seorang jama’ah yang hadir maju ke depan untuk mengumandangkan adzan Jum’at. Setelah itu salah satu rekan Ustadz Abdurrahman langsung mempersilahkannya untuk maju ke depan mengisi khutbah, memberikan tausiyahnya kepada jama’ah. Sebagaimana layaknya, setelah khutbah jum’at selesai, dua reka’at pun segera didirikan. Salam mengakhiri shalat Jum’at hari itu. Jama’ah pun kemudian pergi meninggalkan ruangan dan kembali melaksanakan aktivitas mereka masing-masing.
Namun, ada salah seorang jama’ah berkulit kuning langsat datang menghampirinya, nampaknya ia dari Jepang atau Cina atau mungkin Jawa, menuju ke arahnya sesaat setelah jama’ah yang lain pergi meninggalkan ruangan tersebut.
“Jazakallah khairan, khutbah anda tadi bagus sekali. Dulu sempat kuliah dimana? Di Al-Azhar?”
“oh, tidak. Cuman dulu saya sempat belajar sama beberapa ustadz dari Al-Azhar.”
“saya dari Malaysia, sudah sekitar dua belas tahun saya tinggalkan Malaysia untuk belajar di Universitas Al-Azhar, Mesir, tepatnya di fakultas syari’ah. Kuharap anda berkenan untuk makan siang di rumah saya hari ini.” Begitu kiranya lelaki itu meminta kesediaan ustadz Abdurrahman untuk mau memenuhi undangan makan siang di rumahnya. Namun sayang, sang Ustadz tak mampu memenuhi undangan penghormatan tersebut. Dengan cara yang sangat santun akhirnya beliau terpaksa menolak tawaran tersebut dan berjanji untuk memenuhi undangannya pada lain waktu. Sejak saat itu hubungan mereka berdua menjadi semakin erat, layaknya dua orang sahabat yang sudah saling mengenal sejak lama. Hanya beberapa hari saja akhirnya Allah memberikan kesempatan kepada Ustadz Abdurrahman untuk bisa mengunjungi pemuda Malaysia, rekan senegaranya tersebut di rumahnya. Bincang-bincang hangat pun berlangsung antara mereka berdua.
Ustadz Abdurrahman dikenal sebagai sosok seorang muslim yang benar-benar komitmen dan kokoh dalam memegang prinsipnya. Ia tak mau mgnkonsumsi daging yang disembelih oleh orang non-muslim. Selama kediamannya di Inggris, ia hanya mau memakan daging yang disembelih secara syar’i. Ya, ternyata perjalanan waktu telah membuat hubungan mereka berdua semakin erat dan kokoh menghujam ke dalam hati.
Waktu terus bergulir dan berganti, bilangan tahun terasa begitu cepatnya hingga akhirnya mereka harus berpisah. Ya, mereka harus berpisah sejenak karena salah seorang dari mereka harus melanjutkan studinya di Timur, sementara sahabat karibnya harus meneruskan pendidikannya di Barat, hanay korespondensilah yang menjaga keeratan hubungan yang telah mereka bangun selama ini.
Beberapa waktu kemudian, pemuda Malaysia itu pun akhirnya berhasil menyelesaikan studinya di Inggris, segera ia kemasi semua barang-barangnya sebelum ia kembali ke tanah kelahirannya, sebuah negara Islam yang lebih dikenal dengan nama Malaysia. Dengan izin dan skenario yang telah Allah atu sedemikiaan rupa, akhirnya ia berjumpa dengan seorang ustadz rekan ustadz Abdurrahman di ruang tunggu keberangkatan salah satu airport di kota London. Mereka masih harus bersabar menunggu keberangkatan pesawat yang akan mengantarkannya ke tempat tujuan, karena jadwal keberangkatan pesawat ternyata masih cukup lama. Waktu yang ada akhirnya mereka isi dengan bercakap-cakap, saling bertukar informasi dan cerita.
“Bagaimana kabar ustadz Abdurrahman? Bagaimana dia sekarang, dimana ia tinggal kini?” tanya pemuda Malaysia itu dengan nada rindu penuh rasa ingin tahu.
“Allah benar-benar telah menganugerahkan kepadanya taufik yang sangat luar biasa, ada satu cerita yang sangat mengesankan terjadi pada dirinya,”jawabnya. Ia lalu melanjutkan kata-katanya,
“Dulu saya tinggal satu kota bersama ustadz Abdurrahman. Sebelum kedatangan beliau di kota itu, hampir semua pelajar muslim yang tinggal di sana kondisinya jauh sekali dari tuntunan Islam. Minimal mereka tidak melaksanakan shalat Jum’at. Aling-aling shalat jama’ah, yang shalat sendirian di rumah pun mungkin bisa dihitung dengan jari. Ustadz Abdurrahman langsung mengambil inisatif untuk mengumpulkan mereka semua dalam salah satu undangan makan siang yang sengaja ia adakan. Kesempatan tersebut ia manfaatkan untuk memberikan sedikit wejangan. Beliau ingatkan semua yang hadir pada saat itu untuk senantiasa mendirikan shalat lima waktu secara berjama’ah dan jangan pernah meninggalkannya, demikian pula halnya dengan kewajiban shalat Jum’at.
Namun, para undangan siang itu melemparkan alasan bahwa mereka sangat sulit untuk menghadirkan seseorang yang siap untuk menjadi khatib shalat Jum’at ia pun akhirnya bersedia menjadi khatib shalat Jum’at. Ya, sekedar mencari keridhaan dan ganjaran oleh Allah semata.” Lalu lanjutnya lagi,
“Sejak saat itu mulailah terlihat satu perubahan dan pencerahan makna. Banyak mahasiswa muslim yang belajar di Universitas mulai mendirikan shalat Jum’at secara rutin dan teratur, bahkan mereka sampai menyewa sebuah ruangan khusus untuk dijadikan sebagai mushala dimana setiap harinya mereka bisa mendirikan shalat lima waktu secara berjama’ah di sana. Dan yang lebih mengharukan lagi, sejak saat itu banyak dari mereka yang akhirnya kembali kepada kebenaran setelah sekian lama terjerumus ke dalam kubangan kesesatan dan penyimpangan yang cukup dalam akibat gesekan dan pengaruh kuat yang diberikan oleh kebudayaan barat yang penuh dengan kepalsuan dan angan-angan semata pada saat itu.”
“Alhamdulillah, karena karunia yang telah dilimpahkan-nya, disamping juga jihad dan kesungguhan yang dilakukan oleh ustadz Abdurrahman, akhirnya situasi yang ada selama ini menjadi benar-benar mengalami satu perubahan yang cukup mendasar. Dunia pergerakan mulai menjamah kehidupan mahasiswa muslim di sana. Lahrilah setelah itu, para da’i baik yang berasal dari negara Arab maupun negara lainnya yang berdakwah di tengah lingkungan masyarakat yang sedang terseret kebingungan, mengajak mereka untuk bersama-sama meniti jalan Allah yang penuh dengan kedamaian. Hasilnya? Tidak sedikit dari mereka yang dengan izin Allah akhirnya berhasil meraih hidayah yang tak semua orang bekesempatan untuk mendapatkannya.”
“Dan salah satu kebiasaan ustadz Abdurrahman di bulan Ramadhan adalah mengadakan buka puasa bersama dengan mengundang semua mahasiswa muslim yang sedang melanjutkan studi mereka di universitas pada hari pertama mereka menjalankan ibadah puasa. Mereka pun berkumpul di sana, kurma spesial untuk berbuka puasa dibagikan kepada semua yang hadir. Setelah itu, sebagaimana yang sudah rutin dilakukan, shalat maghrib pun didirikan dan disambung dengan makan bersama.”
“Suatu saat, salah seorang mahasiswa yang berasal dari negara Arab mengundangnya untuk berbuka puasa bersama di rumahnya. Mahasiswa yang satu ini terkenal sebagai seorang anak yang memang suka main-main, nakal, fasik, dan jauh dari ajaran Islam saat itu.”
“Tanpa menaruh sedikit kecurigaan pun, beliau penuhi undangan buka puasa bersama di rumahnya. Seperti biasanya, buka puasa ia mulai dengan menyantap beberapa buah kurma, sekedar mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Segelas sari buah segar kemudian dihidangkan di hadapannya. Mahasiswa durjana iitu pun kemudian memintanya untuk meminum sari buah tersebut. Setelah beberapa tegukan ternyata ustadz Abdurrahman merasakan sesuatu yang berbeda.”
“Sepertinya rasa sari buah ini berbeda dengan yang biasanya?” tanyanya kepada si pemilik rumah.
“Iya, rasanya memang agak berbeda, karena perusahaan yang memproduksi sari buah ini sedang mencoba satu produk baru yang katanya lebih baik dari yang sudah-sudah.” Jawab mahasiswa Arab tersebut berusaha untuk meyakinkan ustadz Abdurrahman. Sifat husnudzon yang ia miliki membuatnya percaya dengan apa yang dikatakan oleh mahasiswa gila tersebut. Beliau pun lalu menghabiskan sari buah segar yang masih tersisa di gelas tersebut sebelum mendirikan shalat maghrib bersama beberapa undangan lainnya. Sementara yang lainnya justru disibukkan dengan mempersiapkan makanan untuk disantap bersama setelah shalat maghrib. Kembali setelah sari buah segar yang sama diberikan kepada ustadz Abdurrahman. Tanpa rasa curiga ia pun kembali meminumnya.
Setelah beliau menghabiskan sari buah tersebut, mahasiswa brengsek itu pun langsung berteriak kegirangan;
“Selamat datang ustadz, selamat bergabung dengan kami, menikmati hidangan minuman keras. Sari buah yang kau minum tadi telah kucampur dengan wisky, makanya rasanya sedikit lain dari yang biasanya.” Ia pun tertawa kegirangan diikuti oleh sebagian rekannya yang hadir di sana, sementara sebagian yang lainnya merasa kaget dan bingung seakan tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar tadi. Sementara itu, ustadz Abdurrahman nampak gemetaran. Segera dimasukkannya salah satu jarinya ke dalam kerongkongan, lalu ia muntahkan semua yang baru saja ia telan. Ia muntahkan semuanya di atas karpet untuk shalat yang terhampar di tengah-tengah ruangan. Sesaat kemudian ia pun hanya bisa menangis, meratap penuh kesedihan. Linangan air mata mengalir membasahi wajahnya, sementara suara tangisnya terus terdengar pilu di telinga.
“Apakah kamu tidak takut sama sekali kepada Allah? Sepanjang Ramadhan aku berpuasa, namun kini aku kau undang sekedar untuk menjadikan diriku sebagai bahan tertawaan! Apakah aku harus mengakhiri puasaku hari ini dengan wisky? Apakah dirimu sudah tidak lagi takut akan siksaan Allah? Aku datang sebagai seorang tamu namun cara engkau memperlakukanku sangat bertentangan dengan adat kebiasaan yang berlaku di negaramu, apalagi dari ajaran Islam! Apakah kau tidak malu melakukan ini semua di hadapan Allah? Kalian biarkan Palestina porak-poranda dengan cara sepertti ini! Kalian campakkan Al-Quds begitu saja karena kalian selama ini telah sangat jauh tenggelam dengan budaya barat dan jauh berlari dari Islam!”
Ustadz Abdurrahman terdiam sejenak, ia tarik nafas dalam-dalam sebelum ia lanjutkan kembali kata-katanya,
“Mereka mengingatkanku untuk berhati-hati terhadap semua makanan yang mengandung daging babi dan alkhohol, tetapi dirimu...ternyata hanya namamu saja yang barbau Arab, namun ternyata engkau telah menipu dan memperdaya diriku dengan memasukkan wisky ke dalam minumanku...dimana kau lakukan semua itu??! di hadapan banyak orang agar mereka bisa mentertawakan dan melecehkan diriku! Semoga Allah membalas semua perbuatan jahatmu...semuga Allah membalas semua perbuatan jahatmu!...”
Penyesalan begitu dalam sekali. Semua mata yang ada tertuju padanya, layaknya anak panah yang terbakar api. Rentetan kata-kata yang telah ia ucapkan benar-benar terasa seperti sebuah timah panas yang disarangkan ke jasad mahasiswa Arab tersebut. Ia pun hanya bisa diam tak berkuti. Dengan suara putus-putus bercampur sejuta rasa malu akhirnya ia berkata,
“Tolong ustadz, maafkan saya...sekali lagi tolong...saya sebenarnya tidak bermaksud demikian, ini semua tak lain karena bisikan syaitan yang telah memasuki fikiranku. Bukankah engkau tahu bagaimana aku begitu menghormati dan mencintai dirimu? Demi Allah, ustadz, saya benar-benar mencintai dirimu...bahkan lebih dari diriku sendiri”, suasana berubah menjadi hening penuh senyap. Sesaat kemudian anak itu melanjutkan permohonannya,
“Kumohon ustadz, tolong anda duduk kembali di kursi itu. Biar aku sendiri yang akan membersihkan karpet sholat ini, engkau santai saja, nikmati hidangan berbuka anda yang masih tersisa, sekali lagi berhantilah menangis...maafkan aku...biarkan kukecup kepalamu sebagai tanda rasa hormatku...tolong maafkan aku...” suasana saat itu benar-benar hening sebelum akhirnya ustadz Abdurrahman kembali berbicara dengan wajah yang sudah terlanjur basah oleh air mata penuh penyesalan,
“Bagaimana mungkin aku bisa memaafkan orang yang telah melakukan kemungkaran?! Memberiku wisky, padahal ia tahu bahwa itu adalah haram??” semua yang hadir pada saat itu semakin dikejutkan lagi ketika mereka melihat ustadz Abdurrahman sujud ke atas lantai sambil bermunajat kepada Allah,
“Ya Allah...sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa diriku belum pernah sekalipun meminum khamr sepanjang hidupku...Ya Rabbi, engkau pun tahu bahwa selama kelima tahun kediamanku di sini tak sekalipun ku sentuh daging karena subhat yang ada, ya Rahman, Engkau pun tahu bahwa apa yang telah ku minum hari ini adalah bukan atas sepengetahuan dan keinginanku, ampunilah diriku...Ya Rabb, ampunilah diriku...Ya Allah, janganlah Engkau jadikan ia api yang membakar perutku nantinya padahal aku tak tahu sebelumnya...Ya Rabbi, kumohon maghfirah-Mu...” seketika itu berdirilah salah satu dari mereka yang hadir di sana, namanya Jims, katanya,
“Berdirilah ustadz, angkat kepala anda, Allah telah mengampuni kesalahan anda...”Jims melanjutkan ucapannya,” ustadz, dengarkanlah...Asyhadu an laa ilaahaillallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah...” menyaksikan pemandangan tersebut semua yang hadir di jamuan itu semakin menjadi bingung tak karuan.
“sekarang aku benar-benar mengikrarkan keislamanku di hadapan Ustadz Abdurrahman. Aku Jims, kini telah menjadi saudaramu seiman...tolong berikan kepadaku nama Islami, aku ingin mendirikan shalat bersamamu ustadz.” Jims pun tak kuasa menahan tangisnya. Ustadz Abdurrahman pun ikut menangis diikuti oleh segenap mereka yang ada pada saat itu, hingga si mahasiswa Arab fasik sang pemilik rumah. Ya, ia pun tak sanggup menahan deraian air matanya karena terbawa suasana yang benar-benar mengharukan sekali, suasana yang benar-benar menyentuh relung hati yang paling dalam. Setelah Jims mulai bisa menguasai dirinya, ia pun duduk di atas lantai dengan tenang dan mulai menceritakan sebab keislamannya,
“Saudaraku semuanya, kalian telah mengundangku untuk makan malam besama. Sengaja akhirnya kuakhirkan jadwal makanku. Ketika aku sampai di tempat ini, sejenak ku berpikir, ya, aku sempat merenung bagaimana mungkin Ustadz Abdurrahman, jauh-jauh datang dari Malaysia yang jaraknya beribu-ribu mil dari Mekah, kota kelahirannya Rasulullah, namun demikian ia tetap rela menjalankan ibadah puasa. Padahal kondisi Malaysia dan Eropa sangat jauh berbeda. Akhirnya kucari jawabannya di dalam diriku sendiri. Mengapa ustadz ini rela mengerjakan ibadah puasa? Mengapa ia tahan dirinya untuk tidak menyentuh makanan ataupun minuman? Berbagai kemungkinan jawaban datang menghampiri fikiranku, terlebih lgi ketika kulihat sendiri bagaimana beliau sengaja berbuka dengan kurma sekedar untuk mengikuti ajaran Muhammad. Ya, tak lain adalah karena Muhammad pernah melakukannya. Kemudian ku amati kembali bagaimana ia rela meninggalkan makanan yang terhidang di atas meja untuk sejenak mendirikan shalat. Padahal dirinya pasti sangat lapar sekali setelah seharian penuh tidak sedikitpun bersentuhan dengan makanan. Ia tinggalkan semua orang dan segera menghadap ke arah kiblat, ruku’ dan sujud dengan penuh kekhusyukan, berdialog dengan Allah diikuti oleh sebagian lainnya. Sementara yang lain tidak bergerak untuk mendirikan shalat bersamanya, bahkan terkesan menyepelekannya.
Kulihat sendiri bagaimana beliau lakukan semua gerakan tersebut secara teratur sambil merenungi semua cptaan-Nya, Tuhan selalu bersamanya di setiap langkah dan perbuatannya. Ku saksikan sendiri bagaimana tingginya rasa takut beliau kepada Tuhan ketika ia tahu bahwa apa yang telah diminumnya tak lain adalah khamr. Dan yang lebih membuatku tertegun penuh simpati adalah ketika ia memasukkan jari tangannya ke dalam kerongkongan untuk mengeluarkan semua yang baru saja ia makan tanpa peduli kalau ia telah memuntahkannya di hadapan banyak orang, di dalam ruang dan di atas sebuah karpet yang sangat bersih, lagi mahal. Semuanya ia lakukan dengan sangat reflek sekali, tanpa dibuat-buat,..benar-benar sebuah reaksi yang bersifat spontanitas. Ia pun sangat kaget sekali setelah mengetahui bahwa apa yang telah diminumnya tadi ternyata adalah khamr, rambutnya berdiri, kulitnya bergetar dengan keras, kedua matanya tak kuasa menahan tangis!!! Hingga mulutnya berupaya untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam perutnya. Bagaimana mungkin seseorang bisa sampai melupakan dirinya seperti ini? Ia lupa rekan-rekan dan semua yang ada di sekitarnya? Tidak atu pun yang menjadi perhatiannya kecuali Tuhannya yang Maha Agung!!!” sejenak Jims terdiam, ia tenangkan dirinya, ditariknya nafas dalam-dalam sebelum ia melanjutkan kembali ucapannya.
“Selama ini aku sudah banyak membaca tentang agama Islam, banyak informasi seputar agama ini kudapatkan dari kalian sejak pertama kita saling bergaul bersama. Sering kuamati dan kubandingkan antara seorang muslim yang tidak mendirikan shalat dan ia tidak memiliki keterikatan apapun dengan agamanya dengan mereka yang senantiasa menjaga shalat mereka dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap agama mereka. Mereka yang tidak mendirikan shalat layaknya penduduk di sini pada umumnya, tak ada bedanya antara mereka dengan orang-orang yang memang berasal dari negara-negara kafir. Namun mereka-mereka yang selalu menjaga shalat dan komitmennya pada dasarnya mereka adalah sosok manusia yang berbeda. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepribadian khusus yang sangat berbeda dari yang lainnya. Hal inilah yang terus menerus membuatku berfikir dan merenung.
“Hari ini, saat ini, aku benar-benar tak mampu lagi menguasai diriku. Ya, hari ini sungguh aku telah menyaksikan fenomena yang sesungguhnya bersemi dari kerendahan dan ubudiah seorang muslim sejati di hadapan Rabbnya. Hari ini kulihat sendiri dengan mata kepalaku bagaimana cinta dan kasih orang-orang muslim sejati kepada nabi mereka, Muhammad. Sebuah cinta yang tertuang dalam perbuatan dan bukan sebatas perkataan serta ucapan belaka. Jiwaku ingin bersama mereka di dalam kesejatian cinta dan kemurnian agama ini!” jims berhenti sesaat.
“Kumohon, tolong ajari aku shalat, ajari aku tentang Islam. Mulai hari ini aku adalah saudara kalian semua, segala puji bagi Allah yang telah menunjukiku kepada agama ini.”
“Dan engkau wahai pemilik rumah, kau ibarat sebuah titik yang telah merubah semua jalan hidupku!”
Semua yang hadir pada saat itu seakan tak percaya terhadap apa yang baru saja mereka dengar dan saksikan sendiri. Suasana menjadi sangat hening, tak satu kata pun yang terdengar saat itu kecuali suara ustadz Abdurrahman yang langsung memecah keheningan. Ia pun beranjak dari duduknya. Diciumnya Jims. Ia pun melantunkan dua kalimat syahadat sambil diiringi oleh Jims setelahnya. Sejak saat itu namanya berubah menjadi “Muhammad Jims”. Sesaat kemudian ustadz Abdurrahman berpaling ke arah mahasiswa Arab si pemilik rumah tersebut.
“Alhamdulillah, akhirnya Allah berkenan mengabulkan do’a dan munajatku. Segala puji bagi-Nya yang telah memberikan petunjuk kepada hamba-Nya melalui diriku. Hidayah yang Allah turunkan kepada seseorang melalui perantara dirimu jauh lebih baik dari dunia dan seisinya. Semoga Allah mengampuni semua dosa yang telah engkau lakukan wahai anakku.” Terlihat matanya berkaca-kaca, dengan lirih terputus-putus mahasiswa Arab itu berkata;
“Ustadz, sejak saat ini saya berjanji tidak akan pernah meninggalkan shalat lagi. Saya tidak akan meninggalkan satu kewajiban pun untuk selamanya. Aku bersaksi di hadapan Allah atas janjiku ini. Akan kutebus semua kesalahan yang telah kulakukan padamu, dan insyAllah tahun ini aku akan menunaikan ibadah haji, semoga Allah berkenan menghapus semua kekhilafanku selama ini.”
Setelah menceritakan semuanya, rekan ustadz Abdurrahman ini memalingkan pandangannya kepada pemuda Malaysia tersebut. Dilihatnya tetesan air mata membasahi wajahnya.
“Inilah peristiwa yang pernah beliau alami yang sama sekali tak pernah terlintas di dalam fikiran. Apakah engkau tak merasa iri hati untuk bisa seperti dirinya?” di akhir cerita ia pun berkata:
“Akhirnya mahasiswa Arab tersebut mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Tanpa disengaja, salah seorang sahabat kami bertemu dengannya di tanah suci. Tergambar rasa khusyuk dan tawadlu menyelimuti jiwa dan hatinya. Kedua matanya berjalan seirama dengan gerakan kedua bibirnya ketika bermunajat memohon kepada Allah agar mengampuni semua dosa yang telah ia lakukan terhadap ustadz Abdurrahman.”
“Ya Allah, Engkaulah yang Maha Mulia, ampunilah dirinya dan hapuslah semua dosanya.”    

2 komentar:

  1. Subhanallah. Kisah yang inspiratif, terlepas dari nyata atau tidaknya. Yang jelas, kisah seperti inipun banyak yang berlangsung dalam dunia nyata, bisa jadi tanpa air mata, bisa jadi tanpa mualaf di dalamnya, namun yang pasti Ridho Allah tidak lepas menaungi. (KopraL Bambang)

    BalasHapus